Presiden SBY rupanya sedang gemar-germarnya mencari dukungan politik. Tampak kasak-kusuk dan terkesan panik menghadapi tekanan publik yang terus gencar mendesak penuntasan kasus bail out Bank Century. Seolah tiada hari tanpa berita: “SBY-Boediono, Century dan kemarahan aksi massa”.
Pada Perayaan Imlek yang diselenggarakan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) dengan mengambil tema “Sekali Janji Terucap, Empat Ekor Kuda Tak Bisa Menarik Kembali”. Presiden SBY berpidato dengan semangat menyeruhkan pentingnya pluralisme dan toleransi pemeluk agama di negeri ini.
“Tahun ini adalah tahun ke-11 bagi umat Konghucu dapat melaksanakan perayaan Imlek secara nasional. Sejak Presiden Abdurrahman Wahid atau biasa disapa Gus Dur yang kita cintai bersama sebagai bapak pluralisme dan multipluralisme mencanangkan perayaan Imlek Nasonal tahun 1999 lalu, alhamdulillah saya sudah 11 kali bisa merayakan Imlek bersama umat Konghucu,” ujar SBY. (kompas)
Lebih jauh, SBY menegaskan: “”Kita harus mempergunakan setiap momentum untuk terus memperkokoh dan menyuburkan kebersamaan di antara sesama warga bangsa. Bukan justru untuk saling bertengkar dan berselisih. Kebersamaan merupakan kunci yang harus kita pegang teguh untuk membangun bangsa dan negara ke arah yang lebih baik. Karena sebagaimana yang sering saya katakan, tugas besar kita dewasa ini adalah membangun bangsa kita menjadi bangsa maju di abad 21 ini…”
Ajakan Presiden tersebut sangat memukau dan memberikan harapan kepada kita tentang makna pentinganya pembangunan bangsa secara bermartabat dan konsisten. Namun, sangat disayangkan, pidato SBY tersebut tidak sepenuhnya merujuk dan menjadikan Pancasila sebagai sumber ideologi pemersatu dan pluralisme dimaksud.
SBY justru terjebak dalam “lingkaran kepentingan politik pragmatis”, dengan menjadikan Gus Dur sebagai bapak pluralisme dengan fokus utama penentu toleransi. Yang secara tidak etis mencoba memprokalmirkan sosok kontraversial Gus Dur sebagai simbol kebebasan beragama.
Secara pribadi, ingin saya sampaikan kepada SBY, kalau dirinya menyatakan baru 11 kali melakukan imlek dengan kaum Kunghucu, maka hal itu tidak lebih adalah kepura-puraan. Mengingat, Imlek bagi kaum Kunghucu di negeri ini sebuah “hak” yang tidak berbeda dengan agama lainnya. Dan sejak kecil, saya pribadi maupun kebanyakan orang non Konghucu telah ikut merayakan Imlek bersama sudara-sudara kita yang Konghucu.
Persoalan, Imlek saat ini dilaksanakan secara nasional, saya kira itu hanya sebuah simbol dan momen yang bersifat formalistis semata. Yang secara kebetulan memiliki hubungan terkait dengan situasi nasional pasca kejatuhan rezim Orba. Di mana, kebebasan beragama mulai tumbuh dan menjadi kehendak semua pemeluk agama di negeri ini. Tegasnya, kebebasan itu adalah bukti dari sumbangan seluruh rakyat Indonesia yang ikut dalam perjuangan reformasi. Bukan karena prakarsa seorang Gus Dur yang secara sepihak dijadikan sebagai penentu dan kunci utamanya.
Kejahatan Konglomerat Hitam & Pluralisme Abal-abal
Sejak gerakan reformasi mencapai puncaknya, yang ditandai dengan rontoknya rezim otoriter Soeharto, berbagai kasus mutakhir dan aliran politik pun bermunculan. Mulai dari aksi kekerasan terorisme hingga konflik antar agama dan golongan marak dan mengusik keprihatanan orang banyak.
Selanjutnya, reformasi sebagai arus kuat perubahan, secara mengejutkan memperlihatkan statestik perampokan keuangan negara secara mencolok. Yakni, kasus perbankkan seputar skandal BLBI yang bernilai lebih dari 1600 triliun. Kasus ini tidak lepas dari keterlibatan para konglomerat hitam yang kebetulan berdarah keturunan Tionghoa.
Lebih menyedihkan lagi, penuntasan kasus ini dalam kurun waktu 11 tahun nyaris tidak tersentuh. Mulai dari Preiden Habibie, Gus Dur, Megawati dan SBY, tidak ada upaya serius untuk menyelesaikan perkara BLBI. Namun, justru sebaliknya kita menemukan semakin tipisnya harapan untuk mengembalikan uang rakyat yang telah menyebakan beban bagi negara.
Melihat kenyataan itu, lantas kemudian sebagian orang pun mengatakan, “kasus BLBI telah dilenyapkan melalui politik pluralisme.” Anggapan ini lahir sebagai ekspresi protes terhadap konglomerat Tionghoa, yang lebih gencar meminta hak kebabasan beragama namun minim partisipasi dalam mendorong pemerintah untuk menuntaskan skandal BLBI. Yang sebagian besar pelakuknya saat ini berlindung di China, Singapure, Hongkong dan Taiwan, yang menjadi pusat-pusat kejayaan kaum Tionghua.
Kecuali untuk tokoh sekaliber Kwik Kian Gie yang berdarah Tionghoa, kasus BLBI acap kali membuat dirinya gerah. Sikap Kwik tersebut sejalan dengan aspirasi rakyat banyak. Bandingkan dengan Gus Dur atau SBY dalam kasus tersebut?
Mencermati sikap nasionalisme Kwik Kian Gie, secara pribadi saya berpendapat, semestinya tokoh seperti itulah yang pantas menjadi bapak pluralisme di negeri ini. Apalagi sikap ekonom kritis itu dalam beberapa kesempatan secara tegas menyampaikan perluanya kebhinekaan dalam perspektif Pancasila.
Singkatnya, Pluralisme ala Gus Dur sulit dipahami jika dihadapkan pada pengalaman dirinya semasa menjabat sebagai presiden. Di mana terbukti tidak menunjukan sikap konkret dan tegasnya dalam penuntasan kasus BLBI. Hal yang sama terjadi pada SBY, yang sibuk mengais keuntngan dari isu pluralisme, namun tidak berkehendak untuk menuntaskan kasus BLBI yang merupakan warisan konglomerat hitam berdarah Tionghua.
Saya ingin bertanya: Apakah pluralisme adalah isu politik untuk menghapus fakta ketidakadilan di negeri ini…?
Kalau benar demikian, maka pluralisme yang dibangun itu tidak lebih adalah pluralisme abal-abal dan bertentangan dengan semangat Pancasila…!!!
Oleh : Faizal Assegaf
Sumber : http://polhukam.kompasiana.com/2010/02/21/sby-lindungi-konglomerat-hitam/
Posting Komentar